Mengintip Permasalahan dalam Pelaksanaan Kurikulum 2013



       Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan mengatur mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU No.20 Tahun 2013 tentang system Pendidikan Nasional).  Dengan demikian kurikulum merupakan ujung tombak tujuan pendidikan dari suatu masa tertentu. Kemana arah pendidikan akan dicapai, semua terprogram dan tersusun dalam sebuah perangkat yang namanya kurikulum.
       Perubahan dan perkembangan jaman yang terjadi mengharuskan terjadinya perubahan pula pada kurikulum jika tidak ingin bangsa ini tertinggal. Sejak berlakunya kurikulum pertama yang dinamakan Rencana Pelajaran 1947 sampai dengan perubahan kurikulum  yang kesepuluh yaitu kurikulum 2013 ini, tidak lain hanyalah tuntutan perubahan dan perkembangan jaman sehingga bangsa Indonesia mampu hidup bersaing dan berdampingan dengan bangsa lain di dunia ini. Terlebih pada masa sekarang ini perkembangan IPTEK begitu luar biasa yang mau tidak mau pendidikan harus mampu mengiringinya.
       Kehadiran Kurikulum 2013 setidaknya membawa secercah harapan bagi bangsa ini walaupun masih banyak terdapat kekurangan yang memang harus segera diatasi.  Kekurangan tersebut bersifat universal yang diharapkan mampu mendorong semua elemen pelaku pendidikan melakukan instropeksi ke dalam yang didasari saling memahami, saling kerja sama, dan sebagainya.
       Keberhasilan pelaksanaan kurikulum 2013 tidak sekedar ditentukan berhasilnya guru melakukan pembelajaran di depan kelas. Banyak faktor yang mempengaruhi. Terlebih kehadiran kurikulum 2013 sejak awal sudah menimbulkan pro kontra tidak hanya dimasyarakat tetapi juga di dunia pendidikan. Tentunya berbagai alasan yang menyebabkan belum diterimanya kurikulum 2013 tersebut secara penuh.
       Memang sebuah hal sangat baru di masyarakat maupun di dunia pendidikan khususnya sekolah dasar ketika adanya perubahan dari kurikulum 2006 KTSP ke kurikulum 2013, Bahkan bisa dikatakan perubahan yang sangat dramatis karena menyangkut semua aspek baik meteodologinya sampai pada materi akademiknya. Di sinilah awal penolakan muncul. Sehingga sampai saat inipun sekolah pelaku kurikulum 2013 masih dirasa gagal paham. Terlebih lagi sekolah yang belum memberlakukannya.
       Ketika kurikulum 2013 awal pertama kali muncul atau kurikulum yang belum direvisi, khususnya sekolah dasar bisa diibaratkan seperti anak ayam kehilangan induk. Hampir semua pelaku pendidikan kebingungan. Mereka harus mengubah segalanya. Dari yang terbiasa menuju ke yang kurang biasa. Dari yang mudah menuju ke yang lebih rumit. Dari yang abstrak menuju ke yang kongkrit, dan sebagainya. Apalagi ketika terjadi perbedaan penulisan dalam buku Penilaian Laporan Pendidikan  yang tidak mencantumkan nilai angka dan hanya diskripsinya saja. Kali ini penolakan semakin melebar khususnya bagi orang tua siswa.
       Sebuah pertanyaan mendasar muncul, Apakah setelah kurikulum 2013 yang sudah direvisi diterapkan kemudian semua permasalahan dapat teratasi? Apakah kurikulum 2013 juga sudah bisa diterima secara penuh di semua kalangan? Ternyata belum juga. Kurikulum yang sudah diberlakukan selama empat tahun ini masih menyisakan berbagai permasalahan. Dan jika permasalahan itu tidak diatasi maka resikonya adalah pendidikan akan menyimpang dari tujuannya.
       Permasalahan yang muncul setidaknya menyangkut empat komponen. Keempat komponen tersebut adalah :
1.   Guru
       Guru merupakan ujung tombak pelaku pendidikan, Gurulah yang mampu membuat merah birunya peserta didik karena dialah yang langsung berhadapan dengan peserta didik. Guru pulalah yang pertama kali merasakan dampak diberlakukannya kurikulum 2013. Bukan yang lain.
       Perubahan yang terjadi pada semua aspek dikurikulum 2013 pada awalnya membuat guru menjadi linglung dan bingung mau berbuat apa. Terlebih lagi penekanan pada kurikulum 2013 yang terletak pada empat aspek yaitu spiritual, social, pengetahuan, dan keterampilan. Juga penekanan lain yang lebih terfokus pada proses pembelajarannya bukan sekedar hafalan akademiknya saja. Inilah yang menjadi permasalahan utama guru.
       Permasalahan lain yang juga membuat guru meratap adalah masalah penilaian dan kegiatan pembelajaran yang sangat padat. Begitu banyaknya kegiatan yang harus dilakukan dalam setiap pembelajarannya. Begitu banyak penilaian yang harus dilakukan. Kalah sebelum bertanding, itulah yang seolah-olah dirasakan guru.
       Guru yang sudah puluhan tahun mengajar dengan cara dan model yang terus-menerus tidak berubah (monoton), telah membentuk sebuah karakter guru Indonesia. Baik dalam mengajar, membimbing, sampai pada pekerjaan lain yang berkenaan dengan pendidikan. Hal itu terjadi karena tuntutan kurikulum yang berlaku saat itu. 
       Karena sudah menjadi karakter yang menempel erat itulah, maka tidaklah mudah bagi guru dalam menerima perubahan. Hal yang mencolok adalah rutinitas guru yang sudah puluhan tahun di depan kelas, menyaampaikan materi, mengevaluasi, menilai, dan menemukan serta menentukan mana siswa yang cerdas dan “bodoh”. Kini guru harus berbalik arah secara drastis 180 derajat, guru harus mampu membentuk karakter siswa, membimbing siswa, mengubah mindset bahwa tidak ada siswa bodoh, mengubah mindset bahwa materi pelajaran bukanlah satu-satunya yang harus dikuasai siswa namun justru materi pelajaran dimanfaatkan sebagai jembatan menuju karakter yang diharapkan.
       Sebuah pertanyaan muncul, mengapa guru sulit berubah? Hal ini dapat dengan mudah kita jumpai di lapangan.  Walaupun sudah memberlakukan Kurikulum 2013, masih banyak guru  yang enggan mengajak siswanya aktif dalam diskusi, tanya jawab, kerja kelompok, penelitian, dan kegiatan lain yang menyenangkan. Keengganan guru terutama bertumpu pada sebuah alasan yaitu kegiatan tersebut menghabiskan waktu. Sementara menurutnya waktu akan lebih bermanfaat untuk kegiatan menghafal.
       Dalam proses pembelajaran, yang ada di benak guru tidak lain hanyalah menyampaikan materi. Hal ini bisa dimaklumi karena sistem pendidikan kita memang masih mengedepankan nilai. Semua elemen masih menjadikan nilai sebagai panglima. Terlebih lagi dengan adanya ujian yang hasilnya dikompetisikan. Guru tentunya akan merasa malu jika hasilnya jelek, rengking di bawah, siswa tidak mampu masuk di sekolah favorit, dan sebagainya. Dengan demikian, jika pemikiran seperti itu muncul maka yang terjadi adalah guru dengan mudah meninggalkan semua kegiatan selain menghafal.
       Dengan dijadikannya Nilai Ujian Nasional sebagai nilai yang dikompetisikan, maka hampir dipastikan pembelajaran di kelas sudah tidak lagi sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013 yang berlaku. Bahkan dapat ditemukan, diawal tahun  pembelajaran kelas 6, pembelajaran yang ada hanyalah membahasan kisi-kisi ujian yang akan dihadapi diakhir tahun.    
       Suatu pandanngan salah yang selama ini kita genggam adalah menganggap nilai merupakan akhir dari proses pembelajaran. Pandangan ini sangat berbahaya karena dengan nilai itulah guru akan menghakimi siswa sehingga didapatlah siswa cerdas, siswa bodoh, siswa patuh, dan sebagainya.

2.   Siswa
       Siswa merupakan komponen yang paling lemah dalam hal ini. Dia akan menerima apa adanya perubahan yang terjadi. Bagi siswa sendiri, pembelajaran di sekolah merupakan pengalaman awal dalam menekuni dunia pendidikan formal, sehingga siswa merupakan komponen yang paling mudah dapat berubah.
       Permasalahan yang muncul pada siswa akan dirasakan jika siswa membandingkan hasil akademik ulangan semester maupun ujian dengan siswa lain yang belum melaksanakan kurikulum 2013. Hal ini berdasar pada kenyataan bahwa hasil ujian akhir tahun, pelaksana kurikulum 2013 selalu kalah dibandingkan dengan pelaksana kurikulum sebelumnya disetiap tahunnya.
       Hasil ulangan atau ujian yang selalu dibawah ini bukan tanpa sebab. Hal pokok yang menyebabkan nilai selalu di bawah adalah pada kurikulum 2013 siswa tidak disiapkan untuk menghafal, namun siswa selalu dilatih dalam empat aspek seperti disebut di atas yaitu spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan. Sedangkan pada kurikulum 2006 KTSP, aspek pengetahuan menjadi kunci utama keberhasilan.

3.   Orang Tua
       Pengalaman orang tua ketika mereka sekolah dahulu juga menjadi permasalahan tersendiri.  Lebih parah lagi orang tua sering menanyakan rengking berapa anaknya di kelas, Berapa nilai Matematikanya, IPAnya, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan orang tua terkadang memberikan rasa tidak nyaman dan kurang merdeka bagi guru dalam melaksanakan proses pembelajaran. Terlebih guru yang benar-benar ingin mengembangkan keempat aspek dalam kegiatan pembelajaran. Sedangkan keberhasilan pembelajaran tidak bisa hanya diukur dari nilai aspek pengetahuan saja.
       Hasil ujian yang selalu di bawah pelaksana kurikulum 2006  KTSP memberikan andil besar terhadap penolakan atau belum menerimanya secara penuh kurikulum 2013. Bahkan sempat terjadi orang tua memindahkan sekolah anaknya ke sekolah yang masih memberlakukan kurikulum 2006 KTSP.

4.    Lembaga
       Dalam hal ini adalah lembaga pendidikan. Lembaga yang menangani dan mengontrol langsung terlaksanakannya Kurikulum 2013 tidak menjamin pasti dapat menerima perubahan ini dengan sempurna. Akan nampak ketika lembaga ini mengkoordinir tes akademik atau ujian. Kemudian membuatnya peringkat mana yang unggul dan kurang unggul kemudian disebarluaskan dan diketahui secara umum. Hal ini sangat fatal akibatnya. Guru sudah tak akan lagi mempedulikan proses, tidak peduli dengan pengembangan karakter siswa. Guru akan terfokus pada akademik yang akan dikompetisikan.

       Demikian 4 komponen  yang sangat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kurikulum 2013. Kurikulum yang sebenarnya sangat ideal khususnya untuk jenjang sekolah dasar. Hal ini karena di dalamnya termuat pendidikan pembentukan sikap spiritual, keterampilan sosial, pengetahuan, dan keterampilan yang semua itu sangat dibutuhkan pada usia-usia sekolah dasar.
       Yang perlu kita pahami bahwa semua permasalahan tersebut harus dicarikan solusinya. Jika penilaian akademik masih menjadi panglima keberhasilan, maka kita tidak bisa berharap banyak terjadi perubahan guru dalam proses pembelajaran. Jika siswa hanya dibiasakan menghafal, jangan harap anak didik kita menjadi siswa yang kreatif dan inovatif.



Oleh : Slamet Joko Nuryanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar